Pikir dan Rasa

cogito ergo sum

Sistematis

with 6 comments

Lama juga tidak menulis di blog … 🙂

Suatu masa saat masih belajar di kota Malang, suatu kawan pernah bercerita tentang proses reparasi televisi. Suatu yang teramat biasa bagi banyak pelajar STM (SMK), tapi sesuatu yang asing untuk mantan pelajar SMA seperti saya. Apalagi tidak ada kebutuhan kerja yang memaksa, jadilah saya sebagai awam.

Intinya kawan saya itu bercerita bahwa dalam praktiknya, biasanya, tukang reparasi seperti “hafal” penyakit dari masing-masing merek dan tipe. Ada beberapa komponen yang menjadi “tersangka utama”, diurutkan berdasarkan “lekelihood”. Dimulai dari komponen mana yang paling sering menjadi sumber masalah.

Cara seperti itu sering dipakai karena “paling efisien”. Mungkin dekat-dekat prinsip Pareto, 80/20. Menghasilkan uang paling cepat.

Dengan prinsip yang sama konon untuk zaman sekarang banyak tikang reparasi yang lebih memilih untuk mengganti “mesin tv”-nya sekalian (PCB dari TV). Hemat waktu dan mendatangkan banyak untung, karena toh bayak orang bekerja dengan cara itu. Apalagi konon sistemnya pun semakin kompleks, tidak seperti dulu.

Cara serupa ini saya anggap sama dengan “patching” pada software. Konon dulu web server Apache, diolok-olok sebagai a patchey, karena memang dibangun dari kumpulan patch untuk server. Dalam bahasa lain ini solusi tambal sulam. Efektif dan menguntungkan, sampai batas tertentu. Lalu mencelakakan untuk proses tertentu.

Kalau seadainya saya yang mengerjakan perbaikan TV zaman itu, saya mungkin akan mengikuti ajaran para dosen. Dimulai dulu dari kabel listrik, ada gangguan atau tidak. Lalu bagian suplai daya di dalam TV. Begitu seterusnya, bagian-per-bagian. Ini cara yang sistematis. Dengan cara inilah iptek sesungguhnya dikembangkan.

Pertanyaannya kalau memang cara sistematis adalah cara yang lebih baik, mengapa bukan cara ini yang dipakai untuk melakukan reparasi? Jawabannya (bisa jadi) sederhana. Karena justru tidak menguntungkan. 😀

Ambil contoh pada para tukang reparasi tv. Jelas tidak masuk akal kalau mereka menghabiskan waktu dengan menggunakan cara yang sistematis, jika dengan cara patchy saja mereka sudah bisa menyelesaikan sebagian besar masalah. Perkecualiannya mungkin sangat sedikit dan itupun bisa jadi akan ditanggung oleh konsumen, entah bagaimana caranya :-D. Bisa juga “rugi sesaat” ditanggung tukang reparasi, tetapi dalam jangka panjang cara ini masih mendatangkan keuntungan yang lebih besar.

Nah kalau cara “tambal-sulam”, patchy, itu memang baik dan menguntungkan, buat apa mengerjakan dengan sistematis?
Mengapa sains dan teknologi (karenanya juga engineering) malah dikerjakan dengan sistematis?

Itu pertanyaan jutaan dolar :-D. Untuk singkatnya, jelas karena tidak semua proses bisa diselesaikan dengan tambal sulam. Apalagi kalau memang prosesnya perlu pembangunan dan pengembangan bertahap. Tidak semua proses adalah proses “makelaran”, dagang memindahkan barang, asal cepat uang dapat, selesai. Bahkan proses “perusahaan dagang”, makelar semacam Amazon (atau Tokopedia di Indonesia), malah prosesnya amat rumit. Itu sistem yang dibangun apik, diusahakan benar untuk tertata rapi. Sistematis, bukan sporadis.

Sains dibangun dengan sistematis, harus jelas dulu, adanya pengakuan hubungan sebab-akibat. Kalau alam semesta hanya bergantung pada mood para dewa, akan menjadi teramat sulit untuk dipelajari. Jauh lebih sulit dari tingkat kesulitan sekarang yang sudah sulit (nah lo). Untuk itu diasumsikan ada aturan dasar yang mengoperasikan alam semesta. Sebab kalau acak, sangat sedikit yang bisa dipelajari dan dirumuskan. Bayangkan misalnya, seringkali tiba-tiba tubuh manusia melayang tinggi di udara di jalan raya. Pesawat terbang sering secara acak tiba-tiba jatuh terhempas. Apa yang bisa dirumuskan? Bahkan nenek moyang saja dulu mencoba sangat keras untuk memahami pola. Ada musim melaut, musim tanam dan sebagainya.

Saat sudah mentok dan tidak punya penjelasan yang baik dan bisa teruji sebagai prediksi ke depan, mereka merasionalisasikan dengan dewa-dewa yang murka atau “penunggu” yang usil atau marah. Bagaimana pun mereka sadar akan adanya suatu pola. Jika tidak mengikuti pola, maka pasti ada penyebabnya.

PENDIDIKAN

Mengikuti sains, IMHO pendidikan juga begitu. Tidaklah benar kalau terus-menerus menggunakan tambal sulam. Ini berpotensi senang sesaat sengsara kemudian.

Salah satu kemudahan semua yang mau belajar saat ini adalah tersedianya sumber informasi (bahkan data mentah) secara (relatif) berlimpah. Misalnya banyak contoh program (kode bahkan dengan diagram alir) banyak tersedia di berbagai situs di Internet.
 
Di satu sisi ini adalah “fasilitas” yang mempermudah dan memperkuat proses belajar. Mengingat sedari bayi, proses alamiah belajar adalah dengan adanya fase meniru dan mencontoh. 

Tapi di sisi lain, seperti obat yang sebenarnya merupakan racun, maka tersedianya banyak sumber belajar ini malah bisa merusak proses belajar itu sendiri. Tentu yang dimaksud adalah belajar dengan benar.

Di Swedia konon ada namanya Missionary Church of Kopimism. Agama yang diakui resmi oleh negara, yang isinya adalah pengakuan dan penguagungan terhadap copy-paste. :-D. Tidaklah jelek pada sendirinya, hanya dosisnya yang perlu diperhatikan.

Copy-paste adalah salah satu bentuk dari proses meniru/mencontoh. Alamiah dan tentu bagus. Belajar pengenalan pola dapat dilakukan dengan lebih efisien dengan mempelajari kode orang lain, lalu mengutak-atiknya untuk mempelajari hubungan sebab dan akibat. Syaratnya…pertama ada dasar pemahaman yang cukup dan kedua tidak berhenti sampai di situ saja.

Yang pertama yang paling debatable, ada yang sederhananya memilih untuk menyuruh “nyemplung dulu” untuk belajar berenang. Di ekstrim sisi ini adalah swim-or-sink, berenang atau mati tenggelam. Ada juga yang memilih untuk memberikan bekal cukup terlebih dahulu baru kemudian diajar untuk praktik.

Kalau saya, ini situasional. Tergantung pada beberapa faktor. Misalnya tergantung dari tingkat bahaya, bidang, waktu, tujuan jangka panjang dst. Walaupun berdasarkan bidang dan bahkan efisiensi, saya biasanya lebih cenderung cara yang kedua. Sistematis dengan diselang-seling beberapa “fase dilepas untuk bingung” yang berguna untuk merangsang aktifitas berpikir dan inisiatif. Tapi tentu saja kebingungan itu harus punya “dosis yang terukur”, disengaja dan bukan karena berangkat dari pemikiran yang asal-asalan.

Yang benar celaka jika proses copy-paste terhenti hanya sebagai kegiatan mencontek sesaat. Sekedar untuk mengatasi masalah tugas. Ini jelas bukan proses pendidikan yang baik.

Tetapi memang keseluruhan proses ini hanya bisa baik kalau semua yang terlibat mau berproses dengan baik. Yang di satu sisi tidak memang berniat asal beri dan yang di sisi lain juga berniat asal terima. Dan penting untuk tidak melompat terlalu jauh.

Karena sy bukanlah orang yang sangat pandai, saya paham betapa sakitnya untuk terus menerus harus “melompat-lompat”. Karena itu saya biasa menyusun resep dengan sistematis, terukur dengan kemampuan siswa. Modalnya cuma kemauan untuk bekerja (belajar) dengan sangat keras.

Saya sadar benar, bahwa bagaimana siswa bisa belajar dengan sistematis jika fondasinya goyah. Tiang-tiangnya bergoyang terus menerus. Tidak akan efisien. IMHO, jika terpaksa, lebih baik memperkuat fondasi atau bahkan membongkarnya daripada membangun istana pasir.

Jadi prosos copy-paste kode program dan rangkaian yang menjadi ritual tanpa tindak lanjut upaya belajar memahami, menurut saya adalah contoh aktivitas berbahaya dari “seremoni” belajar. Kita akan menghasilkan tenaga-tenaga instan yang tidak pernah berupaya paham dasar operasi apalagi philosophy-nya.

Dan saya sangat percaya pola pikir ini tidak akan berhenti hanya pada pelajaran dan bahkan bidang ilmunya saja. Juga akan merembet ke aspek kehidupan lainnya. Jika dibiarkan terus, akan jadi kaum yang mengabaikan sebab-akibat alamiah. Mengandalkan penjelasan mood para dewa untuk segala sesuatu yang terjadi di alam.

BELANDA BELUM MATI
Salah satu ungkapan yang paling saya senangi adalah: “God created the earth, but the Dutch created the Netherlands.” Ungkapan yang konyol tetapi punya makna dan pelajaran yang baik.

Belanda itu negeri yang sebagian wilayahnya amat rendah, bahkan konon di bawah permukaan laut. Mungkin itu salah satu faktor pendorong londo kae, niat mencari daerah baru untuk profit lalu untuk dijajah. Mirip Jepang yang juga alamnya keras. Tapi keterbatasan itu disikapi dengan cara-cara yang sistematis. Tidak perlu sampai meminjam dewa-dewa tetangga seperti Odin atau Thor.

Dari kincir angin untuk mengeringkan lahan sampai bendungan dam pencegah banjir. Dengan kerja keras dan upaya yang sistematis, mereka sekarang menjadi salah satu yang paling ahili di dunia. Dari sekumpulan masalah besar, banjir dan ancaman tenggelam, menjadi keunggulan. Dengan kepala, tangan dan kaki mereka sendiri. Kesalahan berulang kali yang diperhatikan dan menjadi pelajaran kolektif

AFAIK, berawal dari kesediaan menerima sebab-akibat di alam semesta. Asumsi adanya aturan yang menjadi program dasar semesta. Keterbukaan pikiran, meminta bukti dan tidak mudah percaya. Senang mencoba, bereksperimen dan bersedia menerima akan ada terjadinya sejumlah besar kesalahan bahkan ketersesatan. Dari situ upaya sistematis bisa dilakukan.

Jika tidak, maka pola tambal-sulam, patchy, yang akan selalu menjadi andalan. Semata karena candu nikmat sesaat. Mungkin tidak adakan segera terasa, tapi kita akan semakin jauh tertinggal. Sampai suatu hari kita hanya bisa kaget dan kagum, bagimana mereka bisa melakukannya? Padahal seperti kita (kalau mau), mereka melakukannya sedikit-demi-sedikit, sistematis.

Saya merasakan benar sakitnya “hanya bisa kagum”, dan sengsaranya mengejar ketinggalan. Semoga generasi baru bisa mengambil pelajaran pentingnya berproses dengan sistematis. Jual cepat tidak selalu solusi. Dan memang kita perlu napas panjang untuk bisa begitu. Itulah salah satunya fungsi suatu admnistrasi di suatu daerah dan negara. Tapi kalau mereka terus memilih untuk memampukan yang salah…ya sudahlah. Selamatkan diri kalian masing-masing, persiapkan diri sebaik-baiknya selagi muda. Lalu pergilah ke tanah yang menjanjikan perjuangan amat keras yang memberi hasil sepadan. Kalau percaya bahwa hidup hanya satu kali.

Sistematis adalah segala usaha untuk meguraikan dan merumuskan sesuatu dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut obyeknya [1]

Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sistematis

v01

Written by sunupradana

December 4, 2014 at 1:02 pm

6 Responses

Subscribe to comments with RSS.

  1. […] “jalannya”, selangkah demi selangkah berurutan. Sayangnya seperti yang saya kemukakan dalam tulisan sebelumnya. Sistematis itu sering tidak diminati, dianggap bertele-tele padahal untuk banyak hal dalam sains […]

  2. […] yang mudah, bertahap, coba ditekuni. Coba dengan sistematis. Jangan sombong belajar dari orang lain. […]

  3. […] Setelah sebelumnya meninjau tentang switch (sakelar) sebagai sebuah awalan dalam usaha memahami kerja (dan menggunakan) komponen sakelar elektronik berbasis semikonduktor, maka kali ini kita meninjau sejenak tentang diode. Melanjutkan dengen diode penting agar upaya belajar kita berlangsung secara sistematis. […]

  4. […] itu sebagai kelanjutan dari upaya untuk mencoba belajar dengan sistematis, yang dimulai dengan penggunaan sakelar sebagai dasar untuk analaogi komponen yang lebih kompleks. […]

  5. […] sungguh sulit untuk dipraktikan. Karena itu agar proses belajar dapat berlangsung secara lebih sistematis, sebelumnya kita telah membahas tentang gelombang sinus. Tegangan A.C. yang akan kita searahkan […]

  6. […] belajar yang sistematis, menuntun kita untuk tidak langsung mencoba-coba mengutak-atik konfigurasi yang kita sama sekali […]


Leave a comment